TK, JAKARTA — Vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada Harvey Moeis atas kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah menuai sorotan tajam dari masyarakat. Banyak pihak menilai hukuman tersebut terlalu ringan, mengingat tuntutan jaksa sebelumnya adalah 12 tahun penjara.
Merespons kritik tersebut, Ketua Mahkamah Agung (MA) Suharto memberikan klarifikasi terkait dasar pengambilan keputusan oleh hakim. Ia menegaskan bahwa setiap putusan didasarkan pada alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan serta keyakinan hakim yang mengadili perkara tersebut.
“Ada beberapa putusan yang mungkin dianggap kurang memenuhi ekspektasi masyarakat. Namun, perlu dipahami bahwa hakim memutus perkara berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan, bukan pada opini publik atau informasi yang berkembang di media,” ujar Suharto dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).
Ia juga menjelaskan bahwa dalam memutuskan perkara, hakim harus mengacu pada tiga prinsip utama, yaitu menciptakan kepastian hukum, memberikan rasa keadilan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat pencari keadilan.
Suharto mengingatkan bahwa proses persidangan membutuhkan analisis mendalam terhadap bukti dan keterangan yang diajukan para pihak. “Putusan hakim tidak dapat didasarkan pada asumsi atau desakan publik, melainkan harus tunduk pada aturan hukum dan alat bukti yang ada,” lanjutnya.
Dalam perkara ini, selain hukuman penjara 6,5 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar, Harvey Moeis juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp210 miliar. Jika tidak dibayarkan, hukumannya akan ditambah dua tahun penjara.
Meski demikian, hukuman ini masih dianggap jauh dari tuntutan jaksa. Kritik publik pun mengemuka, termasuk dugaan adanya ketidaksesuaian antara vonis yang dijatuhkan dan nilai kerugian negara yang mencapai ratusan miliar rupiah.
Suharto menutup pernyataannya dengan menyerukan kepada masyarakat untuk memahami proses hukum secara menyeluruh. Ia juga mengingatkan bahwa setiap kritik terhadap putusan pengadilan harus disampaikan secara konstruktif dan berdasarkan fakta hukum.
(**)