(TK),PESISIR BARAT—Di tengah riuh rendah klaim pembangunan yang merata hingga pelosok negeri, sebuah peristiwa memilukan kembali membuka mata nurani: seorang kepala desa di Pesisir Barat, Lampung, harus ditandu sejauh 15 kilometer oleh warganya lantaran tidak tersedianya akses jalan yang layak menuju fasilitas kesehatan.
Rudi Meilano, Peratin (Kepala Desa) Pekon Bandar Dalam, mengalami kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan dan memerlukan perawatan medis segera. Namun, tanpa akses jalan memadai, warga terpaksa menandu beliau menggunakan tandu darurat dari batang bambu dan kayu seadanya. Perjalanan panjang selama enam jam itu mereka tempuh dengan berjalan kaki, melewati jalan berlumpur, menyeberangi sungai, hingga menyusuri pesisir pantai yang rawan disapu ombak besar.

Kisah ini bukan sekadar potret penderitaan pribadi, melainkan simbol dari keterisolasian yang selama puluhan tahun masih membelenggu empat pekon di Kecamatan Bengkunat Belimbing: Way Haru, Way Tias, Bandar Dalam, dan Siring Gading. Wilayah-wilayah ini dihuni oleh ribuan jiwa yang setiap hari berjibaku dengan keterbatasan infrastruktur dasar, terutama akses jalan dan layanan kesehatan.
Mirisnya, harapan akan pembangunan infrastruktur kerap berbenturan dengan status kawasan hutan yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Meski pemerintah daerah telah berulang kali mengajukan izin pembangunan jalan untuk membuka akses vital ini, kepastian hukum dan kebijakan belum kunjung hadir. Warga seolah dibiarkan bertahan sendiri, tanpa peta jalan yang jelas menuju kehidupan yang lebih layak.
“Way Haru dan sekitarnya bukan hanya membutuhkan empati, tapi solusi konkret. Ini bukan sekadar soal pembangunan jalan, tapi tentang hak hidup, hak untuk sehat, dan hak untuk dilayani sebagai warga negara,” ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Peristiwa memilukan ini seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa kemajuan tidak bisa diukur dari pencapaian digitalisasi semata atau proyek mercusuar di kota besar. Di pelosok negeri, masih banyak warga Indonesia yang bertaruh nyawa hanya untuk mendapatkan hak dasar mereka.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah bergandengan tangan dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk merumuskan kebijakan afirmatif bagi daerah-daerah terisolir seperti Way Haru. Pembangunan yang adil dan berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
(*)