Menu

Mode Gelap
Penguatan Layanan Kesehatan: Lapas Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung dan RS Graha Husada Tandatangani Perjanjian Kerja Sama FKIP Unila dan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Jalin Kerja Sama untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Gubernur Lampung Ajak Sinergi Sektor Jasa Keuangan dalam Buka Puasa Bersama: Dorong Pertumbuhan Ekonomi Daerah yang Berkelanjutan Gubernur Lampung Lantik Pj. Sekretaris Daerah: Harapan Baru untuk Masyarakat Lampung yang Sejahtera Buka Puasa Bersama dan Santunan Anak Yatim: Siloam Hospitals Purwakarta Rayakan Ramadan dengan Komitmen Kesehatan Kapolres Lampung Timur Pimpin Latihan Pra Operasi Ketupat Krakatau 2025: Siapkan Kesiapsiagaan untuk Mudik Aman di Idul Fitri

Polri Presisi

Warisan Utang Jokowi: Apakah Indonesia Menuju Krisis Finansial dengan Utang Segunung?

badge-check


					Warisan Utang Jokowi: Apakah Indonesia Menuju Krisis Finansial dengan Utang Segunung? Perbesar

(TK)INDONESIA— Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan warisan utang ‘segunung’. Jumlah utang hampir setengah dari alokasi Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN) 2025. Jumlah utang per Agustus 2024 mencapai Rp8.461,93 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak Rp1.350 triliun bakal jatuh tempo pada tahun depan atau saat masa awal pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto.

Menyiasati ribuan triliun utang yang jatuh tempo, pemerintah justru menarik utang kembali. Jumlahnya tembus Rp775.867,5 triliun. Ratusan triliun utang yang ditarik tahun depan itu berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp642.562,0 triliun dan pinjaman senilai Rp133.305,4 triliun. Angka pinjaman itu hanya separuh menambal beban utang jatuh tempo yang rinciannya Rp552,9 triliun untuk beban bunga dan sisanya merupakan utang pokok.

Secara total, rasio total utang Rp8 ribuan triliun pemerintah saat ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,49 persen. Jumlah rasio ini menjadi salah satu yang tertinggi sejak periode kedua Jokowi. Rasio utang sempat tembus 40,7 persen pada 2021. Secara rata-rata rasio utang rezim Jokowi sejak 2014 sampai 2014 relatif naik. Pada mulanya, rasio utang di angka 24,7 persen, sebelum akhirnya naik dua digit pada tahun terakhir Jokowi menjabat.

Dalam postur APBN 2025, defisit anggaran pun tembus 2,53 persen. Pendapatan negara dengan belanja negara pun tampak jomplang jumlahnya dengan perbandingan Rp3.621 triliun untuk belanja negara dan hanya Rp3.005 triliun pendapatan negara. Jumlah defisit tersebut terpantau naik dibanding tahun 2023 senilai 1,61 persen. Secara akumulasi dua periode Jokowi, defisit anggaran melebar 171,82 persen dari Rp226,69 triliun menjadi Rp616,19 triliun. Rasio utang terhadap PDB juga melonjak 58,42 persen, dari 24,7 persen menjadi 30-an persen dengan lonjakan pembiayan utang sebesar hingga 203,39 persen—yang semula Rp255,73 triliun pada 2014.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menekankan utang Rp8 ribuan triliun paling banyak diambil dari SBN, baik yang berasal dari domestik maupun berbasis valuta asing atau luar negeri. Dengan naiknya rasio utang dan pembiayaan utang setiap tahunnya, kinerja keuangan pemerintah sama saja ‘gali lubang tutup lubang’. “Kondisi fiskal Indonesia hari ini masih sangat rapuh dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk melakukan inovasi,” kata Bhima kepada Law-justice, Kamis (17/10/2024).

Dengan utang yang menggunung, Bhima tidak habis pikir dengan capaian pembiayan investasi yang jumlahnya tidak berimbang untuk menopang perbaikan ekonomi. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2014 – 2024, pembiayan utang di Indonesia selalu di atas 74 persen dari total pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di sisi lain, total pembiayaan pemerintah untuk investasi tidak pernah mencapai lebih dari 17,5 persen sejak 2014. Walhasil, sejarah mencatat pembiayaan utang Indonesia selalu jauh lebih besar daripada pembiayaan investasi.

“Skenario ini sering kali menyebabkan defisit anggaran secara terus-menerus, yang mengharuskan pinjaman lebih lanjut dan menciptakan lingkaran setan akumulasi utang,” kata Bhima.

Selain pembiayaan investasi yang merosot dibanding utang, alokasi belanja pemerintah pun tidak berpihak pada upaya pemerataan ekonomi. Bhima menyoroti belanja pemerintah didominasi oleh belanja pegawai dan barang, sedangkan belanja modal yang berdampak langsung pada masyarakat justru terendah. Di sisi lain, anggaran untuk pertahanan dan keamanan cenderung meningkat, bahkan melebihi anggaran kesehatan pada 2020 saat pandemi. Perbandingan belanja terkait perlindugan sosial dibanding belanja pertahanan dan keamanan adalah 124,87 persen vs. 199,04 persen.

Dalam postur APBN 2025, ketimpangan itu tampak dari porsi anggaran belanja untuk pemerintah yang tembus Rp2.701 triliun dibanding anggaran subsidi yang hanya Rp309,1 triliun. Kondisi ini, yang kata Bhima mengkhawatirkan. “Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kondisi justru akan memperlebar ketimpangan antara si kaya dan si miskin,” ujarnya.

Dari sisi pendapatan, Bhima juga mewanti-wanti rasio pajak dalam 10 tahun terakhir relatif menurun. Adapun penurunan rasio pajak di bawah kepemimpinan Jokowi cukup tajam sebesar 26,28 persen dari 13,7 persen pada 2014 menjadi 10,1 persen pada 2024. Kondisi ini, kata Bhima, dimungkinkan karena pemerintah tidak optimal meningkatkan jumlah penerimaan negara dari pajak penghasilan, khususnya pajak penghasilan para miliuner yang selama ini menikmati kue ekonomi lebih besar. Padahal, pengenaan pajak bagi orang-orang super kaya berpotensi mendongkrak penerimaan dan rasio pajak secara signifikan. “Kondisi ini cukup membahayakan bagi perekonomian Indonesia,” katanya.

Yustinus Prastowo mengatakan postur APBN mengakomodir kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto. Staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani ini, mengatakan bahwa defisit anggaran yang tercermin dalam APBN dalam kondisi yang baik-baik saja. Begitu pun dengan rasio utang beserta pembiayaan utang dari anggaran negara, yang menurutnya dalam batas aman.

Kondisi aman yang dia maksud merujuk Undang-undang nomor 17/2023 tentang keuangan negara. Dalam beleid itu, batas maksimal rasio utang terhadap PDB dipatok 60 persen. Adapun untuk defisit anggaran dibatasi tertinggi senilai 3 persen. “APBN 2025 sudah memperhitungkan kondisi fiskal kini dan melihat masa depan (masa pemerintahan mendatang),” kata Yustinus kepada Law-justice, Kamis.

Ihwal utang yang menggunung, dia membandingkan kondisi ekonomi Indonesia dengan negara lain. Menurutnya, rasio utang Indonesia terbilang kecil dibanding Jepang yang tembus ratusan persen. “Ini (perbandingan rasio utang) menunjukkan kondisi fiskal kita tidak rawan,” katanya.

Namun, Bhima menekankan pemerintah menjadikan selisih rasio utang dengan negara lain ini sebagai alasan untuk mengeklaim perekonomian dan utang negara masih aman. Semestinya, pemerintah perlu mengingat bahwa permasalahan utang tidak cukup dilihat dari rasio atau persentase aman saja, tetapi juga pertimbangan atas jenis kreditur dan penggunaan utang.

Sebagai perbandingan, rasio utang terhadap PDB di Jepang sebesar 231 persen dan di Yunani sebesar 182 persen pada Juni 2022. Secara eksplisit, rasio utang kedua negara ini jelas dua kali lipat lebih tinggi daripada rasio utang di Indonesia. Akan tetapi, Jepang tergolong memiliki kerentanan utang yang lebih rendah daripada Indonesia ataupun Yunani.

Selain itu, rasio pembayaran utang negara maju terhadap total belanja jauh di bawah Indonesia. Semisal Jepang yang porsi pembayaran bunga utang terhadap total belanjanya hanya 6,2 persen. Sedangkan, rasio utang Indonesia yang hampir tembus 40 persen hanya memiliki porsi 20,5 persen terhadap belanja. “Rasio utang terhadap PDB di Indonesia yang masih di bawah ambang batas menurut Undang-Undang tidak dapat sepenuhnya dijadikan alasan untuk terus menambah utang negara,” kata Bhima.

Korupsi gerogoti anggaran negara

Rapuhnya kondisi fiskal di Indonesia, tidak bisa dinihilkan dari anggaran negara yang dibancak koruptor. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, mengatakan kerugian keuanga negara semasa pemerintahan Jokowi mencapai Rp290 triliun. Jumlah itu didapat dari hasil sidang kasus korupsi yang di dalamnya juga melibatkan pejabat negara hingga aktor politik di parlemen selaku korputor. Semisal mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Plate dalam kasus korupsi BTS 4G dengan total kerugian keuangan negara tembus Rp6 triliun lebih.

Menukil data ICW dalam lima tahun terakhir, jumlah kerugian keuangan negara paling banyak terdapat pada 2021 senilai Rp62,931 triliun. Jumlah kerugian terbesar lainnya terdapat pada 2022 sebanyak Rp48,786 triliun dan Rp56,075 pada 2023.

Kata Yassar, rumus klasik soal korupsi anggaran publik berpangkal pada lemahnya aspek pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh penegak hukum. “Ketika anggaran publik dirancang sedemikian rupa untuk kepentingan publik, tapi ketika tidak ada ekosistem yang menjamin transparansi dan antikorupsi, ya akan selalu bocor anggaran negara,” kata Yassar kepada Law-justice, Jumat (18/10/2024).

Menurutnya, menjamurnya korupsi di Indonesia didukung oleh penegakan hukum yang setengah hati. Preseden buruk seperti pelemahan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK pada 2019 melanggengkan calon koruptor menggerogoti APBN. Padahal, kinerja KPK sebelum adanya revisi terbilang cukup maksimal karena berhasil menjerat aktor utama korupsi. Semisal kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto pada 2017. Kasus bancakan itu merugikan keuangan negara Rp2 triliun lebih. “Dalam artian, mereka melihat pemberantasan korupsi yang lemah, sekalinya pun tertangkap, vonisnya rendah. Jadi, mereka mengkalkulasi tidak rugi signifikan kalau melakukan korupsi,” ujarnya.

Masih merujuk data ICW, tren vonis rendah mendominasi hasil sidang di pengadilan tingkat pertama sepanjang 2020-2023. Mulanya vonis rendah pada 2020 berkisar 760 vonis hingga terus naik pada 2022 dengan jumlah 1.515 vonis. Sedangkan, vonis berat hanya terbilang belasan hingga puluhan dalam rentang waktu tersebut. Bahkan pada 2023, hanya ada 10 vonis berat untuk koruptor.

Yassar pesimistis dengan keberpihakan institusi penegakan hukum dalam memberantas korupsi di rezim yang akan datang. Sebab, belum ada tanda-tanda perbaikan. Ditambah, komposisi penyelenggara negara yang bakal mengisi pos kementerian, lembaga negara hingga parlemen, beberapa di antaranya diduga terlibat korupsi. “Tren yang sudah selama 10 tahun ini akan berulang. Dalam artian, ya akar masalah korupsi tidak bisa diselesaikan,” katanya.

Korupsi politik, menurutnya, bakal terus menjamur selama mahar politik itu mahal. Seperti ongkos kampanye para legislator yang tembus triliunan. “Seringkali politisi di parlemen mengembalikan modal dengan cara korupsi,” kata dia.

Sedangkan, di level kementerian, korupsi bisa terjadi karena ada kelindan dengan level eksekutif sehingga korupsi tidak dilakukan sendiri. Dalam praktiknya, menteri melakukan korupsi dengan melibatkan relasi pebisnis atau swasta. Lain itu, politik balas budi para menteri yang diberikan jabatan menjadi pemantik lain suburnya laku bancakan. “Politik balas budi bisa berujung pada tindak korupsi,” tuturnya.(**)

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Wakil Gubernur Lampung Bachtiar Basri Wafat di Usia 72 Tahun

15 Mei 2025 - 12:17 WIB

Calon Haji asal Lampung Timur Meninggal Dunia di Makkah

15 Mei 2025 - 12:09 WIB

Dua Mayat Anak Ditemukan Berpelukan di Pesisir Barat: Diduga Korban Pembunuhan

15 Mei 2025 - 12:02 WIB

Rampas Aset Syila Musik: Korban Alami Kerugian Ratusan Juta di Lampung

15 Mei 2025 - 06:59 WIB

“Polda Lampung Lakukan Risk Assessment untuk Amankan Debat Publik Paslon Bupati Pesawaran”

14 Mei 2025 - 23:29 WIB

Trending di Lampung

You cannot copy content of this page