(TK), Bandar Lampung —Setelah mencuatnya pemberitaan mengenai dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kota Bandar Lampung, respons yang diharapkan publik justru tidak kunjung datang. Pihak Bapas hingga kini terkesan kebal hukum dan memilih diam seribu bahasa meski kecaman telah ramai di media sosial dan pemberitaan.
Sudah lebih dari sepekan sejak berita pertama diterbitkan, namun Kepala Bapas Kota Bandar Lampung belum memberikan satu pun pernyataan resmi. Saat dikonfirmasi, hanya pernyataan singkat dari salah satu pejabat di bidang umum, Anwar, yang menyebut, “Nanti saya sampaikan dulu ke Kabapas,” ujar dia kepada media ini. Namun hingga kini, tak ada kejelasan lanjutan.

Sikap pasif ini memicu kekecewaan masyrakat yang semakin meluas. Kolom komentar di salah satu akun TikTok media ini dibanjiri suara-suara masyarakat yang mengaku pernah mengalami atau menyaksikan sendiri praktik pungli di Bapas. Netizen bahkan menyebut bahwa fenomena ini sudah menjadi “rahasia umum”. Dari dimintai uang untuk remisi, PB, hingga sidang Litmas, bahkan sampai diminta rokok dua bungkus saat penandatanganan dokumen — semua menjadi praktik yang dinormalisasi oleh sistem yang seolah tutup mata.
“Ngurus PB/CB remisi di sini mana bisa jalan kalau duit lo gak ada bro,” tulis akun @maharaniv.
“Ini 1.000.000.000% fakta dan pernah saya alamin, kalau gak dikasih uang, ancamannya mau dimasukin lagi ke penjara,” ungkap @guind_22.
@depy bahkan mengungkap, “Yang di dalam itu kasihan karena semua harus bayar. Sampai ada yang jual harta demi bisa bebas. Tolong dong keadilan untuk seluruh Indonesia diberikan.”
Tak hanya masyarakat, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Lampung, Jalu Yuswa Panjang, akhirnya angkat bicara. Namun bukan pernyataan klarifikasi atau pembelaan terhadap bawahannya yang disampaikan, melainkan langkah tegas, “Kalau berita sudah di-launching, menurut kami tidak perlu ditanggapi. Kami tinggal lakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kinerja Bapas Bandar Lampung,” ujar Jalu melalui pesan WhatsApp kepada media ini.
Pernyataan tersebut setidaknya menunjukkan secercah harapan bahwa instansi terkait akan menindaklanjuti temuan ini. Namun publik tak lagi butuh janji, tapi aksi nyata dan transparansi. Evaluasi tanpa keterbukaan hanya akan mengubur kasus ini seperti praktik-praktik kotor lainnya yang menguap tanpa bekas.
Sudah saatnya Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) mengambil alih penuh dan menyisir ke dalam sistem kerja internal Bapas Bandar Lampung. Jika benar ada oknum yang menjadikan PB, CB, dan CMB sebagai “ladang pungli”, maka sudah sepantasnya sanksi tegas dijatuhkan, bukan hanya rotasi jabatan yang berujung penyamaran masalah.
Jangan sampai pemberitaan yang sudah viral ini hanya jadi tontonan sebentar, lalu dilupakan tanpa ada perbaikan sistemik. Media sudah menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial. Kini giliran aparat penegak hukum dan lembaga negara yang harus menjalankan tugas mereka.
Lebih dari itu, lembaga independen seperti Ombudsman RI dan KPK didesak untuk turun tangan menyelidiki dugaan sistematis ini. Karena jika praktik ini benar adanya dan terjadi bertahun-tahun tanpa terungkap, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama institusi, melainkan kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan di negeri ini.
Sampai kapan oknum-oknum seperti ini terus meraup untung di atas penderitaan keluarga narapidana yang seharusnya mendapatkan haknya secara sah? Sampai kapan hukum hanya tajam ke rakyat kecil tapi tumpul terhadap mereka yang berseragam?
Bukan sekadar papan bertuliskan “Semua Layanan Gratis Tanpa Pungutan” yang dibutuhkan. Yang dibutuhkan adalah komitmen nyata bahwa hukum masih berdiri tegak di negeri ini.
(RED)