(TK), Lampung —Kebijakan Gubernur Arinal Djunaidi menempatkan pejabat eselon II sebagai penjabat (pj) bupati, banyak negatifnya dibanding positifnya. Karena faktanya, mereka lebih asyik dan menikmati benar posisi sebagai pj bupati dengan menomor-duakan tugas utamanya.
Itu pulalah yang terjadi pada Adi Erlansyah. Ipar Gubernur Arinal itu lebih khusu’ menjalani tugas sebagai Pj Bupati Pringsewu ketimbang jabatan aslinya selaku Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Lampung. Akibatnya, ada tunggakan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang nilainya lebih dari Rp 3 triliun, tidak diurus dengan serius alias dicuekin.
Mengacu pada database aplikasi e-samsat yang di-backup pada 31 Desember 2022 lalu, diketahui ada tunggakan pajak kendaraan bermotor (PKB) sebesar Rp 3.791.733.953.573.
Tunggakan PKB sebanyak itu tercatat sejak tahun 2017 ke bawah, dimana ada 2.094.902 kendaraan yang menunggak pajak hingga mencapai angka Rp 3.047.068.028.440. Di 2018, tunggakan PKB sebesar Rp 204.217.989.190 dengan jumlah kendaraan 184.003.
Lalu pada 2019 dengan jumlah kendaraan yang menunggak pembayaran pajak sebanyak 212.173 unit, potensi pendapatan dari PKB yang hilang sebesar Rp 219.047.575.650. Di 2020 ada 192.232 unit kendaraan yang menunggak, dengan nilai Rp 154.814.050.790, dan pada tahun 2021 terdapat 303.906 unit kendaraan yang menunggak dengan nilai Rp 166.586.309.503.
Bila dikalkulasikan dari total ķendaraan yang menunggak PKB sebanyak 2.987.216 unit, maka terdapat Rp 3.791.733.953.573 yang semestinya menjadi pendapatan daerah dari sektor PKB.
Namun anehnya, demikian menurut LHP BPK RI Perwakilan Lampung atas Laporan Keuangan Pemprov Làmpung Tahun 2022, Bapenda tidak mencatat tunggakan pembayaran PKB tersebut sebagai piutang.
Kòk bisa? Berdasarkan penjelasan Kasubbid Pajak I Bapenda Lampung, piutang tidak dicatat karena surat ketetapan pajak daerah (SKPD) yang merupakan dasar pengakuan piutang, baru diterbitkan ketika wajib pajak (WP) akan membayar pajak, bukan saat jatuh tempo.
Dalam LHP-nya, BPK menguraikan, selama ini Bapenda melakukan penagihan PKB secara door to door hanya kepada WP perorangan, bukan terhadap wajib pajak dengan jumlah tunggakan besar, seperti perusahaan atau instansi pemerintah, meskipun data penunggak tersedia pada database.
Mengutip dari temuan BPK RI Perwakilan Lampung, setidaknya ada 12 perusahaan yang memiliki ratusan kendaraan dengan jumlah tunggakan PKB mencapai Rp 12.538.865.700.
Perusahaan-perusahaan besar yang menurut temuan BPK menunggak PKB itu, di antaranya adalah PT GGP yang memiliki 722 unit kendaraan dengan jumlah tunggakan Rp 2.698.655.925, lalu PT MBM dengan 446 armada memiliki tunggakan sebanyak Rp 123.663.750.
Selanjutnya PT SA dengan jumlah kendaraan 333 unit mempunyai tunggakan PKB Rp 1.664.278.200, sedang PT ZAMP dengan jumlah kendaraan 233 unit menunggak Rp 3.008.061.300, dan PT MAI dengan 240 kendaraan menunggak pajak Rp 822.503.550.
Sementara PT PDM yang memiliki 191 unit kendaraan, menunggak pajak Rp 123.429.600. Dan PT BRIdengan kendaraan 443 unit, menunggak PKB sebesar Rp 360.767.625.
PT ASA yang mempunyai 156 unit kendaraan, menunggak Rp 426.317.625, dan PT GPM dengan 135 kendaraannya menunggak sebanyak Rp 1.035.915.150.
PT JAS dengan 133 unit kendaraan menunggak Rp 754.947.600, sedangkan PT TBL yang mempunyai 134 unit kendaraan, diketahui memiliki tunggakan PKB Rp 1.214.012.475, serta PT SIL dengan 48 unit kendaraannya, menunggak pajak Rp 306.312.900.
Mengapa potensi besar PAD ini tidak diseriusi Bapenda Lampung? Sayangnya, Kepala Bapenda, Adi Erlansyah, maupun Sekretaris Bapenda, Jhon Nofri, belum berhasil dikonfirmasi hingga berita ini ditayangkan. (*)