Polemik Limbah dan Kebisingan PT Garuda Bumi Perkasa: Warga Desa Mulya Agung Protes, Perusahaan Bantah Tuduhan

Lampung, Mesuji104 Dilihat

(TK),Mesuji— Masyarakat Desa Mulya Agung, Kecamatan Simpang Pematang Kabupaten Mesuji, terus mengeluhkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh PT Garuda Bumi Perkasa (GBP), sebuah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan tersebut. Keluhan tersebut mencakup pencemaran akibat limbah cair yang mengalir ke pemukiman warga, serta gangguan kebisingan yang dihasilkan oleh cerobong asap pabrik. Meskipun demikian, pihak perusahaan secara tegas membantah tuduhan-tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa pengelolaan limbah mereka sudah sesuai dengan standar yang berlaku.

Sejumlah warga Desa Mulya Agung, seperti Pak Priyono dan Buk Sulina, mengungkapkan keluhan terkait kebisingan dan pencemaran lingkungan yang mereka alami akibat aktivitas pabrik PT Garuda Bumi Perkasa. Pak Priyono, salah seorang warga asli desa, mengeluhkan suara bising yang dikeluarkan oleh cerobong asap pabrik yang beroperasi selama lebih dari 12 jam setiap hari. “Suara cerobongnya itu mengganggu sekali, kadang-kadang bisa sampai 24 jam, dan asapnya juga mengganggu pernapasan kami,” ujar Pak Priyono dengan nada penuh keprihatinan.

Buk Sulina juga mengungkapkan keresahan serupa terkait kebisingan dan bau tak sedap yang datang dari limbah pabrik. “Waktu musim hujan, bau dari limbahnya semakin menyengat. Belum lagi janji perusahaan yang belum terealisasi, seperti mengganti cerobong asap yang berisik,” keluh Buk Sulina. Ia juga menambahkan bahwa perusahaan tersebut tidak memberikan kesempatan kerja kepada warga sekitar, padahal mereka seharusnya diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka.

Menanggapi pemberitaan yang muncul terkait keluhan warga, PT Garuda Bumi Perkasa membantah keras tuduhan pencemaran lingkungan dan intimidasi terhadap jurnalis. Melalui keterangan yang disampaikan oleh Yuda, Humas PT GBP, perusahaan menyatakan bahwa pengelolaan limbah mereka sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. “Pengelolaan limbah kami selama ini berjalan dengan baik, dan kami selalu responsif terhadap situasi yang mungkin terjadi. Jika ada kebocoran, itu bukan karena kelalaian, namun kami langsung bertindak cepat untuk mengatasi masalah tersebut,” tegas Yuda.

Terkait dengan kebisingan yang dikeluhkan oleh warga, Yuda menjelaskan bahwa pihak perusahaan tidak pernah menerima keluhan resmi terkait masalah ini, dan segala prosedur yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan lingkungan sekitar selalu dipatuhi. “Setiap tamu yang datang ke perusahaan kami harus mematuhi prosedur yang ada. Jika ada pihak yang datang tanpa memenuhi syarat, tentu kami tidak bisa mengizinkan mereka masuk ke area perusahaan,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Desa Mulya Agung, Sonny Imawan, membantah adanya keluhan dari warganya mengenai limbah atau kebisingan dari PT Garuda Bumi Perkasa. Dalam wawancara dengan media, Sonny menegaskan bahwa tidak ada warga yang bernama Mahmud, yang disebutkan dalam laporan media sebelumnya. “Saya selaku kepala desa pastinya lebih tahu apa yang terjadi di desa saya. Tidak ada warga yang mengeluh soal limbah atau kebisingan,” ujar Sonny dengan tegas. Ia juga meminta agar media yang memuat berita tersebut melakukan klarifikasi, karena menurutnya berita tersebut merugikan desa dan nama baik perusahaan.

Dalam situasi ini, penting untuk menyoroti regulasi yang mengatur tentang pengelolaan limbah dan kebebasan pers di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap pelaku usaha diwajibkan untuk mencegah dan mengelola limbah agar tidak mencemari lingkungan. Perusahaan juga diwajibkan untuk memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memadai, serta memastikan limbah cair yang dibuang memenuhi baku mutu yang ditetapkan.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur kebebasan pers dan melarang segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis. Pasal 18 Ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang yang menghalangi kerja pers dapat dikenakan pidana penjara atau denda. Dalam hal ini, jika benar ada intimidasi terhadap jurnalis, perusahaan harus mempertanggungjawabkan tindakannya.

Warga Desa Mulya Agung berharap agar masalah ini segera ditangani oleh pihak berwenang. Mereka meminta agar perusahaan menghentikan pembuangan limbah yang diduga mencemari lingkungan dan melakukan kompensasi kepada warga yang terdampak. Selain itu, mereka juga menginginkan adanya audit lingkungan yang menyeluruh terhadap pabrik tersebut.

Pemerintah daerah diharapkan dapat turun tangan untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi peraturan yang berlaku dan memberikan sanksi jika terbukti melanggar. Warga juga berharap agar ada upaya konkrit dari perusahaan untuk menyelesaikan masalah kebisingan dan kualitas udara yang semakin buruk akibat aktivitas pabrik.

Kasus ini menunjukkan bagaimana ketegangan antara aktivitas industri dan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat masih menjadi isu yang memerlukan perhatian serius. Baik dari sisi pengelolaan limbah maupun kebebasan pers, semua pihak harus berkomitmen untuk menjalankan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sementara itu, perusahaan harus terus meningkatkan transparansi dan kepekaan terhadap kebutuhan serta keluhan masyarakat sekitar, agar tercipta hubungan yang harmonis dan berkelanjutan.

(RED)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *