(TK), BANDARLAMPUNG— Di balik gemerlap pembangunan, Bandar Lampung diam-diam kehilangan salah satu elemen terpentingnya—ruang untuk bernapas. Bangunan hunian terus menjamur, perumahan tumbuh tanpa kendali, dan aturan garis sempadan bangunan (GSB) serta garis sempadan sungai (GSS) seolah hanya menjadi sekadar tulisan di atas kertas. Dulu, kota ini memiliki banyak ruang hijau yang menjadi tempat air meresap dengan tenang ke dalam tanah. Namun, kini pemandangan itu berubah drastis. Lahan hijau semakin sempit, dan daerah resapan air seolah hanya menyisakan aspal dan beton. Hujan deras yang dulu hanya dianggap berkah kini menjelma menjadi ancaman. Genangan air semakin tinggi, dan banjir mulai menjadi langganan.
Banyak yang berpikir bahwa banjir hanya soal gorong-gorong yang tersumbat atau drainase yang buruk. Padahal, masalahnya jauh lebih besar. Kabupaten-kabupaten di sekitar Bandar Lampung seperti Pesawaran, Padang Cermin, dan Hanura juga berperan besar dalam menyumbang aliran air yang masuk ke kota.

Di wilayah Register 22, hutan-hutan yang dulu menjadi penjaga keseimbangan mulai kehilangan kekuatannya. Penebangan liar menggantikan pohon-pohon besar dengan tanah gundul yang tak mampu lagi menahan derasnya hujan. Air pun mengalir liar, tanpa ada yang menahannya. Aliran dari Tugu Durian ke Kemiling dan Rajabasa berubah menjadi ancaman yang sulit dikendalikan.
Sementara itu, di dalam kota, bangunan-bangunan yang melanggar aturan semakin marak. Lahan-lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan justru dipadatkan dengan beton. Perumahan tumbuh tanpa perencanaan yang matang, dan izin-izin pembangunan sering kali diberikan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi lingkungan. Saatnya Berbenah, Sebelum Terlambat
Bandar Lampung tak bisa terus begini. Pemerintah harus segera menyusun strategi besar dengan melibatkan berbagai pihak—ahli tata kota, ahli lingkungan, ahli hidrologi, dan tentu saja masyarakat.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
✔ Menanam pohon di sepanjang aliran sungai, terutama bambu, untuk memperkuat daerah resapan.
✔ Membangun sumur resapan di fasilitas publik seperti sekolah, kantor pemerintahan, dan area permukiman.
✔ Menginventarisasi tanah-tanah fasilitas umum yang bisa digunakan untuk penghijauan kembali.
✔ Meninjau ulang izin-izin pembangunan, terutama yang tidak sesuai dengan site plan awal.
✔ Berkolaborasi dengan kabupaten sekitar untuk mengendalikan aliran air dari hulu ke hilir.
✔ Memanggil seluruh pimpinan organisasi pengembang, seperti REI, HIMAPERA, PI, dan seluruh elemen terkait, untuk duduk bersama demi kepentingan masa depan kota.
Ini bukan hanya untuk kepentingan hari ini atau lima tahun ke depan. Ini soal masa depan. Jika tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin Bandar Lampung akan tenggelam oleh air dan permasalahan yang diciptakannya sendiri. Indonesia Emas 2045 bukan hanya soal kemajuan ekonomi dan teknologi, tetapi juga bagaimana kita menjaga lingkungan agar tetap bisa menopang kehidupan generasi mendatang. Bandar Lampung harus bergerak, sekarang juga! Saatnya Wali Kota Menunjukkan Kepemimpinan yang Kuat
Wali Kota Bandar Lampung harus mengambil peran sentral dalam menyelamatkan kota ini. Saatnya seluruh elemen strategis duduk satu meja—PTPN, PLN, Bumi Waras, Basarnas, para rektor universitas, pengembang perumahan, dan seluruh unsur terkait. (***)