(TK)Lampung—Persidangan kasus penganiayaan terhadap anak di bawah umur dengan terdakwa M. Hersa A. Wijaya, seorang ASN di lingkungan Pemprov Lampung, mulai digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang pada Selasa (11/3/2025). Menariknya, terdakwa tidak dalam status tahanan.
Terkait keputusan untuk tidak menahan terdakwa, akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung, Budi Rizky Husin, SH, MH, CPM, CLA, menjelaskan bahwa dalam Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pelaku anak dapat tidak ditahan. Namun, jika pelaku adalah orang dewasa, keputusan tersebut harus mempertimbangkan Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Budi menyatakan, “Penahanan bukanlah kewajiban mutlak dalam setiap perkara pidana. Hal ini harus memenuhi syarat objektif dan subjektif sesuai Pasal 21 KUHAP. Dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun 6 bulan, kasus ini tidak memenuhi syarat untuk penahanan wajib, yang umumnya berlaku bagi tindak pidana dengan ancaman di atas 5 tahun.”
Lebih lanjut, dari aspek subjektif, penahanan hanya dapat dilakukan jika ada kekhawatiran pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Jika pelaku bersikap kooperatif dan memiliki alamat tetap, aparat penegak hukum dapat memutuskan untuk tidak melakukan penahanan.
Namun, Budi menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil. “Jika pelaku tidak memenuhi syarat-syarat penahanan tetapi tetap tidak ditahan, aparat penegak hukum harus jeli dan mengedepankan asas persamaan di hadapan hukum.”
Mengenai terdakwa M. Hersa A. Wijaya, Budi menegaskan bahwa sebagai ASN, ia seharusnya menjadi contoh yang baik. “Sebaiknya dilakukan penahanan untuk memberikan efek jera dan menghindari gejolak di masyarakat.”
Kasus ini bermula pada 8 November 2023, di lingkungan SDN Korpri, Sukarame, Bandar Lampung. Terdakwa Hersa dituduh menganiaya anak berinisial DAA (9) yang masih duduk di bangku kelas 3 SD. Jaksa penuntut umum, Novita Wulandari, menjelaskan bahwa terdakwa mendatangi sekolah setelah mengetahui anaknya, Ersa, menangis dan tidak mau berangkat sekolah.
Setelah bertemu teman-teman Ersa, terdakwa masuk ke kelas dan bertanya kepada DAA apakah ia yang menyebabkan anaknya menangis. Meskipun DAA mengaku bukan pelakunya, terdakwa menarik kerah baju korban, mendorongnya hingga terbentur dinding, mencekik leher, menampar pipi, dan meludahi wajahnya.
“Setelah melakukan kekerasan, terdakwa meminta korban untuk memberitahu orangtuanya bahwa ia telah dipukul,” jelas Jaksa Novita, menambahkan bahwa korban merasakan sakit di bagian pipi dan leher akibat perbuatan tersebut.
Terdakwa Hersa, yang dikabarkan sempat “menghilang” dari kegiatan di kantornya selama empat bulan, didakwa dengan Pasal 80 ayat (1) juncto Pasal 76-C UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Sidang berikutnya akan digelar di PN Tanjungkarang pada hari Selasa pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.(**)