(TK),Bandar Lampung— Gejolak mencuat dari balik dinding Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kota Bandar Lampung. Sejumlah narasumber yang enggan disebutkan namanya membongkar dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang diduga dilakukan oleh oknum petugas Bapas dalam proses pengurusan Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB), dan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Nilai pungli yang ditarik bervariasi, mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 20 juta per narapidana.
Keluhan serupa disuarakan keluarga narapidana yang merasa terbebani oleh biaya tinggi saat mengurus hak pembinaan yang semestinya mereka peroleh secara sah setelah menjalani 2/3 masa pidana, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018. Proses yang seharusnya transparan ini diduga dijadikan ladang subur untuk memperkaya diri oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Saat dikonfirmasi, pihak Bapas Kota Bandar Lampung justru menampik seluruh tudingan tersebut. Melalui Kasi BKA (Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak dan Dewasa), Eko Juli, bersama dua petugas lainnya, mereka bersikukuh bahwa semua prosedur berjalan sesuai SOP tanpa pungutan biaya, bahkan menunjuk papan pengumuman di kantor mereka yang bertuliskan “Semua Layanan Gratis Tanpa Pungutan.”
“Ini harus jelas, siapa oknumnya? Siapa narapidananya? Agar kami bisa tindak lanjuti. Kalau kami bekerja, ya sudah jelas sesuai SOP, semua gratis, tidak dipungut biaya,” ujar Eko Juli saat ditemui media ini, Rabu (8/5/2025).
Pernyataan tersebut justru memancing keprihatinan di kalangan jurnalis. Dalam dialog panas di kantor Bapas, awak media menegaskan bahwa tugas jurnalis adalah menyampaikan informasi yang dihimpun di lapangan, bukan membuktikan unsur pidana.
“Kami selaku media menjalankan tugas sesuai kode etik jurnalistik. Kami menyampaikan temuan di lapangan agar pihak terkait bisa menelusuri. Kalau kami diminta menyebutkan nama sumber dan bukti transfer uang, sama saja kami diminta melanggar kode etik kami. Pembuktian itu tugas aparat, bukan jurnalis!” tegas jurnalis media ini.
Lebih ironis, dalam penjelasan berikutnya, Eko Juli justru mengakui bahwa praktik seperti ini bukan lagi rahasia umum. Oknum petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK), sebutan untuk petugas Bapas yang membina narapidana, kerap diduga meminta uang sebagai “pelicin” agar berkas cepat disetujui dan dikirim ke pusat.
Ketika ditanya tentang SOP kunjungan PK yang semestinya dilakukan ke rumah narapidana untuk proses asesmen, jawaban yang diberikan malah memperlihatkan pembiaran. “Kalau SOP-nya ya datang ke rumah. Tapi kalau mereka bisa menjamin itu data ya silakan nanti ya bertanggung jawab ya PK, mau ketemu di tempat makan atau lewat telepon, itu urusan PK-nya sendiri,” ujarnya enteng.
Masih dalam pernyataannya, Eko Juli menambahkan, “Makanya saya bilang tadi jika hal ini sampai ke kami, kami butuh data. Dan ketika tidak bisa memberikan data ya silakan saja,” ujarnya kepada media. Pernyataan ini justru memunculkan pertanyaan: mengapa media yang menyampaikan informasi ini dipaksa untuk memberikan data, sementara yang diduga nakal adalah oknum petugas dalam instansi itu sendiri? “Nyambung lah ya maksud saya lah ya,” ujar Eko kepada awak media ini.
Apakah pungli yang disebut “bukan rahasia umum” ini harus terus didiamkan? Apakah keadilan hanya berlaku bagi mereka yang mampu membayar?
Padahal, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 menegaskan bahwa PB, CB, dan CMB adalah hak narapidana yang memenuhi syarat, tanpa biaya apa pun. Setiap pungutan liar adalah pelanggaran hukum yang wajib diberantas.
Sudah saatnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM turun tangan membongkar praktik kotor yang menodai institusi Bapas ini. Jika lembaga yang seharusnya menjadi pembina, yang berada di bawah kendali Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, malah menjadi pelaku pungli, maka wajah pemasyarakatan kita telah ternoda. Hukum tidak boleh hanya tajam kepada rakyat kecil, tetapi tumpul terhadap oknum berseragam.
Lebih dari itu, lembaga independen seperti Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sepantasnya turun tangan menelusuri dugaan pungli yang terjadi secara sistematis ini. Jangan sampai hukum hanya sebatas slogan di poster, sementara praktiknya terus merugikan rakyat kecil di balik jeruji.
Kini, publik menunggu bukan sekadar bantahan, tapi tindakan nyata. Sudah cukup praktik busuk ini bersembunyi di balik papan “Gratis Tanpa Pungutan.” Hukum harus bicara lantang — bukan sekadar lewat poster .
(RED)