(TK),Bandarlampung — Pungutan liar atau pungli merupakan praktik korupsi kecil-kecilan yang jamak “dibiasakan” di masyarakat. Ini seperti yang dilakukan oleh Peratin (Kades) dan mantan Peratin di Kabupaten Lampung Barat.
Pungutan, menurut KBBI, berarti (1) barang apa yang dipungut, (2) pendapatan dari memungut, sedangkan liar diartikan, salah satunya, “tidak teratur; tidak menurut aturan (hukum)”; atau “tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang”. Dengan begitu, pungutan liar adalah pendapatan dari memungut yang tidak sesuai dengan aturan hukum alias tidak resmi.
Untuk memberantas aksi pungli, pemerintah mengeluarkan kebijakan Perpres Nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli).
Pungli dapat dikelompokkan ke dalam tindak pidana khusus (korupsi) dan tindak pidana umum (pemerasan). Riset Hutur Pandiangan (2020) menyatakan, pungli kebanyakan dilakukan oleh aparat dan digolongkan sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, riset lain membatasi pungli sebagai kejahatan jabatan.
Hal itu seperti yang terjadi di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, dimana ada dugaan pungutan liar yang dilakukan oleh pejabat negara setingkat Peratin (Kades) yang memungut sejumlah uang kepada para Peratin lainnya dengan dalih untuk perlindungan hukum.
Diketahui bahwa beberapa waktu yang lalu media massa gencar memberitakan dugaan pungli tersebut, dimana ada indikasi keterlibatan camat dan diketahui oleh PJ Bupati Lampung Barat Drs Nukman MM.
Namun hal itu tidak menjadikan oknum Peratin maupun pejabat lainnya yang diduga terlibat dalam pungutan liar tersebut berbenah diri apalagi melakukan tindakan tegas terhadap para pelaku pungli tersebut.
Hal itu ditanggapi oleh salah satu Akademisi yang ada di Lampung, bahwa perbuatan tersebut adalah sebagai salah satu perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme guna memperkaya diri sendiri atau kelompok.
“Jika dana yang dipungut itu berasal dari APBN atau APBD, dan tidak ada juklak dan juknis serta tidak dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya, itu sudah jelas masuk dalam kategori pungli (korupsi) ujarnya.
Bahkan menurut Dia, apapun dalihnya jika tidak sesuai dengan aturan dan mekanisme yang ada dalam penggunaan anggaran, maka itu adalah perbuatan melanggar hukum.
“Semua anggaran baik yang berasal dari APBN maupun APBD itu ada aturannya dan mekanisme penggunaan dan pertanggungjawaban nya melalui SPJ dan LPJ, jika tidak mengikuti aturan dan mekanisme tersebut, sudah bisa dipastikan itu melanggar aturan bahkan berpotensi melanggar hukum,” jelasnya.
Untuk dugaan Pungli yang dilakukan oleh Boimin dan Murtoyo tersebut, dia mengatakan bahwa seharusnya Camat dan PJ Bupati mengambil sikap tegas jika memang mereka tidak terlibat didalamnya.
“Seharusnya apa yang menjadi temuan kawan-kawan LSM dan media tentang dugaan pungli yang dilakukan oleh Boimin dan Murtoyo itu, seharusnya Camat dan PJ Bupati Lampung Barat seharusnya mengambil langkah-langkah tegas, atau jangan-jangan mereka terlibat di dalamnya sehingga bisa dikategorikan sebagai Pungli atau korupsi berjamaah,” imbuhnya.
Dan yang menjadi pertanyaan dan keanehan publik menurutnya adalah, seolah-olah kegunaan dana tersebut untuk biaya melindungi para Peratin (Kades) dari kasus hukum.
“Saya melihat masalah ini seolah-olah para Peratin itu pasti melanggar hukum, dan untuk melindungi mereka dari kasus hukum tersebut maka telah disiapkan biaya untuk penasehat hukum. Padahal jika para Peratin ini tidak ada niat untuk melakukan pelanggaran hukum dalam mereka menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala Desa atau Peratin maka tidak perlu melakukan kerjasama dengan penasehat hukum (PH). Ini kan aneh dan menjadi pertanyaan publik, apa lagi dana tersebut berasal dari Dana Desa yang bersumber dari APBN yang mana harus jelas penggunaan dan pertanggungjawaban nya. Jika para Peratin itu dalam setahun anggaran tidak melakukan pelanggaran hukum, lantas pertanggungjawaban dana itu seperti apa, kan setiap dana yang digunakan harus ada pertanggung jawabannya bahwa dana itu digunakan untuk apa.” Tutupnya.