(TK), Kota Metro— PPS Margorejo Kecamatan Metro Selatan diduga kuat menerapkan praktik nepotisme dalam proses perekrutan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2024 lalu. Berdasarkan laporan warga dan narasumber, Ketua PPS Margorejo, Jhesy Dwi Lestari, dituding memilih anggota KPPS berdasarkan hubungan keluarga dan kedekatan pribadi.
Proses penentuan anggota KPPS di Kelurahan Margorejo sendiri dilakukan melalui rapat pleno yang dipimpin oleh Jhesy, bersama dua anggota PPS lainnya, Rizky dan Sagino. Namun, sejumlah warga mencurigai adanya kejanggalan dalam penunjukan anggota KPPS tersebut.
Salah satu warga, R (52), yang enggan menyebutkan namanya secara lengkap, mengungkapkan kepada media “Teropongkasusnew.com” bahwa kriteria seleksi KPPS di Margorejo patut dipertanyakan.
“Dokumen kelengkapan memang lengkap, tapi apa yang jadi dasar mereka diterima? Banyak yang punya pengalaman justru tidak lolos seleksi. Sementara, ada kabar bahwa yang diterima adalah orang-orang yang punya hubungan keluarga, seperti ibu dan anak, paman dan keponakan, serta saudara kandung,” ujarnya.
Dugaan Nepotisme dan Pelanggaran Aturan Pemilu
R menyatakan kekhawatirannya bahwa hubungan personal ini dapat menimbulkan kekacauan dalam pelaksanaan pemilu di tingkat yang lebih tinggi. Hal ini diduga melanggar Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dengan jelas melarang keterlibatan suami-istri atau anggota keluarga dalam penyelenggaraan pemilu di satu unit kerja yang sama.
“Kalau sekarang saja di tingkat kelurahan sudah begini, bagaimana kalau mereka berada di tingkatan yang lebih tinggi? Bisa jadi sumber masalah besar,” keluhnya.
Namun, saat dikonfirmasi pada Rabu (9/10/2024), Ketua PPS Margorejo, Jhesy Dwi Lestari, dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Menurutnya, perekrutan anggota KPPS dilakukan secara profesional dan sesuai dengan seleksi berkas.
Alasan Penolakan Calon KPPS
Jhesy menjelaskan bahwa ada beberapa calon KPPS pada pemilu sebelumnya yang dianggap tidak memenuhi syarat, khususnya di TPS 1, 2, dan 3. Masalah utama, menurutnya, adalah kurangnya penguasaan teknologi di era pemilu berbasis SIREKAP (Sistem Rekapitulasi Elektronik). Sehingga, PPS lebih memilih calon anggota KPPS yang lebih muda dan memiliki kemampuan teknologi yang lebih baik.
“Ada beberapa yang kurang layak menurut kami, terutama yang tidak bisa menguasai teknologi. Pemilu sekarang kan menggunakan SIREKAP, jadi kita butuh yang lebih paham teknologi,” jelas Jhesy.
Namun, pernyataan ini justru semakin memunculkan dugaan bahwa perekrutan dilakukan atas dasar kedekatan pribadi. Warga mempertanyakan apakah benar alasan ketidakmampuan teknologi yang menjadi dasar penolakan, atau justru hubungan keluarga yang lebih diprioritaskan.
KPU Kota Metro Belum Memberikan Tanggapan
Untuk mengklarifikasi masalah ini, pihak media mencoba menghubungi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Metro. Sayangnya, komisioner KPU yang bertanggung jawab atas PPS sedang tidak berada di kantor. Saat dihubungi melalui telepon, Yunita, salah satu petugas KPU, menyampaikan bahwa komisioner yang bersangkutan masih mengikuti kegiatan di Bandar Lampung.
Dengan belum adanya penjelasan resmi dari pihak KPU, dugaan nepotisme ini terus menjadi sorotan publik. Masyarakat menunggu tindakan lebih lanjut dari KPU Kota Metro untuk menelusuri apakah benar ada pelanggaran dalam proses perekrutan anggota KPPS di Margorejo.
Apakah Nepotisme Akan Menodai Pemilu 2024?
Kasus ini memperlihatkan adanya potensi masalah serius dalam penyelenggaraan pemilu, terutama jika kecurigaan ini terbukti benar. Jika nepotisme memang terjadi, bukan hanya integritas Pemilu 2024 yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia.
(HABI)