Menu

Mode Gelap
Penguatan Layanan Kesehatan: Lapas Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung dan RS Graha Husada Tandatangani Perjanjian Kerja Sama FKIP Unila dan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Jalin Kerja Sama untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Gubernur Lampung Ajak Sinergi Sektor Jasa Keuangan dalam Buka Puasa Bersama: Dorong Pertumbuhan Ekonomi Daerah yang Berkelanjutan Gubernur Lampung Lantik Pj. Sekretaris Daerah: Harapan Baru untuk Masyarakat Lampung yang Sejahtera Buka Puasa Bersama dan Santunan Anak Yatim: Siloam Hospitals Purwakarta Rayakan Ramadan dengan Komitmen Kesehatan Kapolres Lampung Timur Pimpin Latihan Pra Operasi Ketupat Krakatau 2025: Siapkan Kesiapsiagaan untuk Mudik Aman di Idul Fitri

Nasional

Ketika Kursi Parlemen Jadi Etalase Kemewahan, Bukan Suara Rakyat

badge-check


					Ketika Kursi Parlemen Jadi Etalase Kemewahan, Bukan Suara Rakyat Perbesar

(TK)— Di era digital yang serba terbuka ini, panggung politik tak lagi hanya berada di gedung-gedung parlemen atau ruang rapat tertutup. Media sosial telah menjadi arena baru di mana setiap gerak-gerik, ucapan, dan gaya hidup para wakil rakyat terekspos langsung ke hadapan publik.

Ironisnya, bukannya memanfaatkan platform ini untuk mendekatkan diri pada konstituen, sebagian dari mereka justru memilihnya sebagai etalase untuk memamerkan kemewahan. Hasilnya, simpati tidak didapat, melainkan gelombang kritik dan kemarahan rakyat yang merasa terkhianati.

Kasus-kasus yang menimpa sejumlah pesohor yang kini duduk di kursi legislatif, seperti Eko Patrio, Uya Kuya, Sahroni, dan Nafa Urbach, menjadi contoh nyata bagaimana perilaku yang tak sensitif dan gaya hidup glamor bisa menjadi bumerang.

Mereka yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan negara, justru menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar.

Rakyat yang menghadapi kesulitan ekonomi, ancaman PHK, atau harga kebutuhan pokok yang terus melambung, menyaksikan wakilnya memamerkan koleksi mobil mewah, tas mahal, atau liburan ke luar negeri. Hati nurani mana yang tidak terusik melihat pemandangan kontras ini?

Masalah fundamentalnya bukan hanya soal pamer kekayaan, melainkan krisis empati yang akut. Para wakil rakyat ini seolah lupa atau memang tak pernah benar-benar memahami penderitaan rakyat yang mereka wakili.

Janji-janji kampanye tentang perbaikan ekonomi, pelayanan publik yang lebih baik, atau kesejahteraan sosial, kini terdengar hampa. Mereka sibuk dengan agenda pribadi dan partai, sementara aspirasi dan jeritan hati konstituen terabaikan.

Dalam acara debat atau wawancara, mereka seringkali berbicara dengan istilah-istilah politik yang rumit, retorika tinggi, dan janji-janji muluk. Mereka terdengar sangat pintar dan berwawasan.

Namun, ketika ditantang untuk memberikan solusi konkret terhadap masalah sehari-hari rakyat, jawaban mereka seringkali berputar-putar. Masalah seperti kemacetan, banjir, atau pelayanan publik yang buruk, seolah hanya dianggap sebagai topik diskusi, bukan persoalan yang harus segera diselesaikan. Sangat memuakkan!

Kehadiran mereka di parlemen sering kali tidak mewakili suara rakyat, melainkan hanya menjadi perpanjangan tangan kepentingan elite. Rapat-rapat dengar pendapat yang seharusnya menjadi forum untuk menyerap aspirasi, seringkali hanya formalitas.

RUU yang lahir justru banyak yang dianggap tidak pro-rakyat. Pertanyaannya, jika mereka tak mampu dan tak mau mewakili rakyat, lantas untuk apa mereka ada?

Tentu, kesalahan ini bukan sepenuhnya di pundak individu. Partai politik, sebagai pihak yang mengusung mereka, juga memiliki tanggung jawab moral dan politik yang besar.

Proses rekrutmen kader yang lebih mengutamakan popularitas atau modal finansial ketimbang integritas dan komitmen pada rakyat, adalah akar masalahnya.

Seharusnya, partai menjadi filter utama yang memastikan kader-kader yang diusung benar-benar punya empati dan pemahaman mendalam tentang persoalan rakyat

Mereka seharusnya mengingatkan dan menindak tegas kadernya yang berperilaku tidak pantas. Bukannya membela atau membiarkan, melainkan menunjukkan bahwa mereka memang serius dalam mengabdi kepada rakyat, bukan hanya memanfaatkan momentum pemilu untuk meraup suara.

Apa yang terjadi pada sejumlah wakil rakyat yang kini dipermalukan oleh publik adalah sebuah peringatan keras. Ini adalah wujud dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan rakyat yang merasa tidak dihargai.

Rakyat mungkin terlihat diam, namun sesungguhnya mereka mengamati. Setiap ucapan sombong, setiap pameran kekayaan, dan setiap janji yang diingkari akan tercatat.

Ketika kesabaran rakyat sudah habis, perlawanan tak lagi hanya berbentuk unjuk rasa di jalanan, melainkan juga lewat perlawanan media sosial, penolakan dalam pemilu, atau bahkan aksi-aksi yang lebih radikal. Ini adalah pesan dari rakyat.

Para pejabat negara, termasuk wakil rakyat, harusnya punya rasa malu dan risih. Rasa malu karena hidup nyaman dari uang rakyat yang hidup susah. Rasa risih karena tak mampu memenuhi janji yang telah diumbar.

Jika mereka tidak segera sadar dan berubah, maka yang akan terjadi adalah kehancuran legitimasi politik itu sendiri. Kekuasaan yang tidak lagi dihormati oleh rakyat, akan kehilangan maknanya. (*)

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Dugaan Persekongkolan Tender Proyek PUPR Tubaba kian nyata, Kejaksaan Minta APIP Periksa Pokja, Sementara PUPR Masih Bungkam

17 November 2025 - 07:04 WIB

Pemprov Lampung dan Bakrie Amanah Bersinergi Jaga Masjid Raya Al-Bakrie 🕌✨

9 November 2025 - 14:08 WIB

Komisi II DPRD Lampung Soroti Kelangkaan Solar, Dorong Kolaborasi Antarinstansi Cari Solusi

9 November 2025 - 14:03 WIB

Perwosi Lampung Lantik Pengurus Baru, Teguhkan Komitmen Majukan Olahraga Perempuan

9 November 2025 - 14:00 WIB

Ketua DPRD Provinsi Lampung Hadiri Kuliah Umum di Universitas Lampung: Tekankan Pentingnya Wawasan Kebangsaan bagi Generasi Muda

9 November 2025 - 10:23 WIB

Trending di Bandar Lampung

You cannot copy content of this page