(TK),Bandar Lampung—Keluhan wali murid terkait pungutan uang komite sekolah kembali mencuat, kali ini datang dari beberapa orang tua siswa SMAN 5 Bandar Lampung. Mereka mengaku terbebani dengan biaya komite sekolah yang terus meningkat setiap tahunnya, mencapai angka yang fantastis hingga jutaan rupiah per tahun.
Salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan keresahannya. Ia mengaku, sejak anaknya menginjak kelas X, ia sudah dibebani uang komite sebesar Rp5 juta per tahun. Saat anaknya naik ke kelas XI, jumlah tersebut meningkat menjadi Rp5,5 juta per tahun, dan kini saat anaknya duduk di kelas XII, biaya komite kembali naik drastis menjadi Rp6,7 juta per tahun. Kondisi ini sangat memberatkan bagi banyak wali murid yang mayoritas berasal dari keluarga dengan penghasilan pas-pasan.

“Saya tidak tahu nanti bagaimana kalau belum bisa bayar, apakah ijazah anak saya akan ditahan? Saya benar-benar bingung karena belum ada uang untuk melunasi,” ungkap salah satu wali murid dengan nada penuh kekhawatiran.
Keluhan juga muncul terkait prosedur yang diterapkan pihak sekolah dalam menghadapi siswa yang belum melunasi uang komite. Sebelum mengikuti ujian, siswa diwajibkan membuat surat pernyataan terkait pelunasan biaya komite. Baru setelah itu, mereka diberikan nomor ujian. Wali murid mengaku merasa ditekan oleh pihak sekolah untuk segera melunasi tagihan tersebut.
Fenomena pungutan berkedok komite sekolah ini menimbulkan polemik yang belum menemukan jawaban pasti. Komite sekolah, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, seharusnya berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam mendukung pendidikan. Namun, dalam praktiknya, komite kerap dijadikan dalih untuk mewajibkan pungutan kepada orang tua siswa.
Padahal, aturan pemerintah jelas menegaskan bahwa pendidikan dasar hingga menengah adalah hak warga negara. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam membiayai program wajib belajar 12 tahun. Hal ini khususnya berlaku bagi siswa dari keluarga tidak mampu.
Dengan adanya pungutan yang semakin meningkat setiap tahunnya, timbul pertanyaan: apakah pungutan ini masih dalam koridor sumbangan sukarela, ataukah sudah menjurus ke pungutan liar yang dilegalkan atas nama komite sekolah? Jika pungutan ini bersifat wajib, apalagi disertai tekanan dan konsekuensi seperti penahanan ijazah, maka patut dipertanyakan legalitas serta transparansi penggunaannya.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Sekolah SMAN 5 Bandar Lampung belum dapat terkonfirmasi untuk memberikan tanggapan terkait keluhan para wali murid. Sementara itu, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung juga masih belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai permasalahan yang terjadi di lapangan.
Dugaan pungutan liar berkedok komite sekolah ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah. Dengan adanya program wajib belajar 12 tahun yang seharusnya menjamin akses pendidikan tanpa hambatan biaya, keluhan wali murid ini menunjukkan bahwa masih ada praktik yang bertentangan dengan semangat pendidikan gratis dan inklusif.
Apakah ini sekadar sumbangan sukarela atau pungutan yang dipaksakan? Apakah komite sekolah menjadi alat bagi pihak tertentu untuk memberatkan wali murid? Semua ini masih menjadi tanda tanya besar yang menunggu jawaban dari pihak terkait.
(RED)